“Kenalkan, namaku Wira,” ujarku mengenalkan diri.
Beberapa teman di sekolah baruku itu lalu mengenalkan dirinya satu
persatu. Lalu, tibalah giliran seorang anak perempuan yang sangat
berbeda caranya saat memerkenalkan dirinya.
“Namaku Rini. Ibuku bekerja sebagai badut. Kalau kamu mengadakan pesta ulang tahun, panggil ibuku, ya!”
Aku langsung tertawa mendengarnya. Tapi sewaktu kulihat teman-teman di sekitarku, mereka justru diam dan tidak ada yang tertawa.
“Oh, eh, maaf, ya. Aku tidak bermaksud menghina,” cepat-cepat aku
berujar. Aku takut jika Rini yang baru kukenal beberapa jam itu lalu
tersinggung. Aku juga khawatir jika teman-temanku yang lain ikut marah
dan membuat aku tidak punya teman di hari pertamaku menjadi anak baru.
“Tidak apa-apa,” jawab Rini riang dan terlihat tidak tersinggung.
Saat Rini sudah menjauh, barulah Uwi yang duduk sebangku denganku, bercerita tentang apa yang pernah terjadi pada Rini.
“Sebetulnya, dulu bapaknya Rini yang bekerja sebagai badut. Dia
sering dipanggil di pesta-pesta ulang tahun. Tapi suatu hari, bapaknya
mengalami kecelakaan dan meninggal. Pekerjaaan menjadi badut itu lalu
diteruskan ibunya Rini. Meskipun sebetulnya, ibunya Rini masih bekerja
sebagai guru TK hingga saat ini,” cerita Uwi.
Aku termenung. “Lho, lalu kenapa ibunya masih mau menjadi badut?
Lagipula, aduh maaf ya, Rini kok malah terlihat bangga sih?” tanyaku
heran.
“Soalnya, ibunya Rini seorang badut yang istimewa. Kalau penasaran,
coba undang ibunya Rini untuk mengisi acara pesta di rumahmu. Kamu pasti
akan tahu maksudku!” timpal Uwi.
Akhirnya saat pulang sekolah, aku meminta pada Mama untuk mengadakan pesta dadakan dalam waktu dekat.
“Wira ini ada-ada saja! Memangnya pesta untuk apa? Hari ulang tahun Wira, kan masih lama?” Mama menolak permintaanku.
“Yah, anggap saja pesta keakraban, Ma! Biar Wira makin mengenal
teman-teman di sekolah baru Wira dan juga yang ada di perumahan tempat
kita tinggal sekarang ini,” jawabku.
Karena alasanku itu, akhirnya Mama dan Papa setuju. Seminggu
kemudian, pesta itu jadi diadakan. Tidak hanya teman-temanku di sekolah
dan di perumahan saja yang diundang, Papa dan Mama juga mengundang
anak-anak dari sahabat-sahabat Papa di kantor barunya. Tentu, aku tak
lupa mengundang ibunya Rini untuk menjadi badut dan mengisi acara pesta
itu.
Waktu Rini dan ibunya datang, aku terkejut. Ternyata, Rini juga hadir
dengan mengenakan kostum badut di pestaku. “Lho, kamu kok ikut-ikutan
jadi badut?”
“Pst… lihat saja deh aksiku dengan ibuku nanti!” jawab Rini.
Rupanya saat beraksi, Rini dan ibunya juga mendongeng. Dongeng itu
hasil karangan ibunya Rini sendiri. Ceritanya pun sangat lucu, tentang
seorang kurcaci yang tiba-tiba ingin menjadi peri. Karena ibunya Rini
dan Rini membawakannya dengan cara yang lucu, aku dan banyak orang di
pesta itu pun jadi tertawa senang.
“Jadi ceritanya, kurcaci itu merasa tubuhnya yang mungil memang
mustahil untuk menjadi besar setinggi manusia. Karena itu, ia lalu
memasang daun pisang di kedua tangannya. Hup! Hup! Ia lalu mengepakkan
tangannya berharap bisa terbang,” cerita ibunya Rini sambil
meloncat–loncat dengan mimik wajah yang lucu.
Sewaktu atraksi selesai dan waktunya istirahat bagi semua tamu di pesta, aku lalu mendekati Rini.
“Wah, kamu dan ibumu hebat ya, Rin! Sekarang aku jadi tahu kenapa Uwi
pernah bilang kalau kamu dan ibumu adalah badut istimewa,” pujiku
tulus.
Rini tersenyum. “Terima kasih. Jadi ikut senang nih karena kamu suka
penampilanku dan ibuku tadi. Kapan-kapan, undang kami lagi, ya!” jawab
Rini dengan wajah berseri-seri.
Dalam hati aku juga kagum dengan Rini yang suka membantu ibunya saat
sedang menjadi badut. Yah, pantas saja ia tidak malu. Ibunya memang
badut yang istimewa!
Senin, 22 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar